Aku Menulis, Maka (Memori) Ku Ada

Selama cerita-cerita 30 Hari Menulis Cerita KUBBU BPJ dari tahun sebelumnya, sedikit banyak aku sudah menceritakan ya tentang ciri khas diriku, salah satunya yaa pelupa paraaahhhh, tolong, hahaha! Jadi, maafkan aku yang seringkali disapa apa ditanya tentang sesuatu tiba-tiba hilang ingatan dan tidak bisa menemukan serpihan-serpihan memori yang diperlukan, mianhae.

Kenapa aku menulis? Ya tentu supaya paling tidak memori-memori penting dalam linimasa kehidupa yang tak abadi ini bisa terus tercatat dan bisa dibongkar dan dibaca kembali kelak, aku menulis, maka (memori) ku ada, dan jejak ceritaku ada.

Melalui tulisan aku juga bisa berbagi cerita dan mungkin tulisan atau pun ceritaku tersebut bisa memberikan sedikit manfaat dan kepingan informasi yang dibutuhkan oleh orang lain. Misalnya saja, ketika aku menggunggah tugas-tugas kuliah dan skripsiku dulu, beberapa tahun kemudian aku dikontak oleh mahasiswa yang sedang melakukan penelitian serupa. Tulisan kita, cerita kita, mungkin saja bermanfaat buat orang lain, mungkin bukan sekarang, mungkin kelak, tulisan kita akan menemukan pembaca (sejati)-nya sendiri. Bahkan sedari dulu, aku sangat menyukai perkataan Pramoedya Ananta Toer, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulsi, ia akan hilang dari sejarah. Menulsi adalah bekerja untuk keabadian."

Ahhh aku jadi teringat dengan cerita culture trip Petak Sembilan, Glodok. Saat menyambangi gang-gang di kawasan Petak Sembilan, kami menemukan tempat Koh Akwet seorang generasi terakhir penulis kaligrafi China di Indonesia. Beliau menguasai 5000 aksara China, Ia pun rajin menuliskan aksara-aksara tersebut dalam kegiatan sehari-hari atau pun untuk pesanan. Sayangnya, menurut beliau sudah tidak ada generasi muda yang meneruskan langkahnya mempelajari dan menuliskan aksara China tersebut, huhu sayang kan, tanpa dituliskan ya lama kelamaan akan hilang dan menguap tanpa jejak. Makanya, aku pun ingin terus menuliskan cerita-cerita di setiap momen penting yang berkelindan dalam kegiatanku sehari-hari, agar memori dan kenangan itu akan tetap ada dan tak lekang oleh waktu.

Mengabadikan tulisan aksara China bersama Koh Ahwet

Atau cerita lain yang menarik tentang cerita pengalamanku ke Pulau Air, perjalanan perdanaku bersama dengan Backpacker Jakarta (BPJ), momen ter-epik sepanjang hidup sepertinya. Bagaiamana aku yang dulu adalah anak yang masih cupu dan takut-takut untuk jalan-jalan dengan orang 'asing' dari komunitas yang belum aku kenal dan jumpai sebelumnya, memberanikan diri ikut serta open trip Pulau Air dadakan! Jumat siang dapat konfirmasi ada peserta yang cancel, dan jumat malam aku menuju ke Kota Tua bertemu dengan teman-teman BPJ lainnya. Cerita perjalanan Pulau Air juga memang epik, penuh air mata dan ketegangan saat pulang ke Jakarta, kami terombang-ambing di tengah laut karena terpaan ombak yang sangat kencang. Hampir semua penumpang berteriak, menangis dan melontarkan doa-doa permohonan keselamatan pada Tuhan dan semesta. Siapa sangka, trip Pulau Air mengantarkanku untuk tetap bertahan sampai sekarang di KUBBU BPJ.

Sebagai anak bawang BPJ di Pulau Air ya aku belum banyak mengenal anggota komunitas BPJ, apalagi dikenal sama Founder BPJ, Edi M Yamin, dan beberapa tahun kemudian ketika berbincang di obrolan grup KUBBU tulisanku tentang Pulau Air malam membawa kami bernostalgia pada kenangan-kenangan epik masa lalu. Siapa sangka cerita masa lalu bisa menjadi bahan perkenalan dan mengakrabkan diri yha.

1 comment

  1. Setuju, dengan lewat tulisan kita bisa berkomunikasi lintas generasi :)

    ReplyDelete

your comment awaiting moderation