Memahami Kesehatan Mental di Tengah Pandemi Covid-19

Dulu, aku hanya tau sekedar sekelibat saja tentang kesehatan mental, itu pun dari seorang 'teman' masa lalu yang mengambil studi jurusan psikologi dan sedikit menceritakan persoalan kesehatan mental yang Ia alami, pun dia memberikan banyak 'pertolongan' saat aku merasakan kekalutan pikiran di penghujung 2017 silam. Mungkin titik itu juga menjadi titik terendah kesehatan mentalku ya, don't know ...

Sometimes we just hiding our sadness behind smiles

Waktu berlalu teramat cepat, masa dimana aku berada di titik terendah aku punya seorang 'teman' yang siap siaga sebagai teman berkeluh kesah, bersandar sabar menunggu sampai aku puas menyeka air mataku kala itu. Tidak dengan kondisiku di awal-awal pandemi. Aku ingat betul, memasuki bulan Juli 2020, empat bulan setelah diterapkan kebijakan di rumah saja secara ketat oleh kantor (karena aku tinggal dan berkegiatan di mess kantor), memasuki pertambahan usia di penghujung kepala 20-an, dan aku tak lagi memiliki seorang 'teman' untuk bercerita, bersandar, menemani dan mengisi kekosongan-kekosongan yang semakin terasa di tengah pandemi Covid-19.

My mood changing

Bulan keempat itu seakan semakin mendorong luapan-luapan emosi yang tidak bisa ku kontrol, sehingga semakin mudah tersulut amarah oleh hal-hal sepele. Naasnya, aku tipikal orang yang lebih suka 'diam' dan tidak ingin cari ribut dengan membalas hal-hal sepele tersebut dengan ocehan, makian atau apa pun itu. Aku tahu dan paham memiliki tabiat seperti ini, memilih diam dan menyendiri untuk meluapkan emosi dengan tangis, sampai aku lelah sendiri, alih-alih menuturkan pendapat untuk menyalurkan emosi. Dan ini tak selalu baik, kurasa.

Menyadari hal tersebut, aku membutuhkan teman untuk berbincang dan berkomunikasi via daring selama masa pandemi, aku tak lagi berfokus pada 'teman' (pasangan) yang siap almost 24/7 untuk mendengarkan ceritaku. Agenda nongkrong dengan teman-teman dekat sedari kuliah dan berkomunitas akhirnya kami alihkan ke agenda daring, nobar netflix, conference call sampai akhirnya membuat podcast, untuk memenuhi kebutuhan komunikasi kami di tengah pandemi. Nyatanya, teman-teman dekatku itu pun merasakan hal yang sama, pembatasan-pembatasan kegiatan, minimnya interaksi sosial yang biasanya non-stop dilakukan oleh kami para pekerja, pegiat komunitas sedikit banyak berdampak pada kesehatan mental kami.

Jujur, karena pandemi inilah aku lebih aware dengan pembahasan kesehatan mental dan menjaga kesehatan mentalku sendiri. Dan sampai di titik berkompromi It's Okay not to be okay, nrimo o (terimalah), jangan melakukan pembelaaan diri, dan menantang diri sendiri dengan pernyataan 'aku baik-baik saja.' Hanya saja, aku masih di tahap lebih memprioritaskan pada memahami perasaan apa yang aku alami, dan aku harus melakukan apa yang bisa membuat aku lebih baik, lebih tenang, lebih senang, aku belum sampai ke titik ingin berkonsultasi dengan seorang psikolog.

Bertepatan dengan momen-momen hari kesehatan mental, aku bersyukur bisa mengikuti webinar dari Kementerian Kesehatan untuk menyosialisasikan perihal "Mental Health in an Unequal World: Kesetaraan dalam Kesehatan Jiwa untuk Semua" dalam kehidupan sehari-hari, Rabu 6 Oktober lalu. Webinar ini mendatang lima narasumber dengan keahlian masing-masing di bidang kesehatan mental, seperti dr. Celestinus Eigya Munthe.SP.KJ.MARS yang membahas tentang sistem kesehatan jiwa di Indonesia, Dr. Satti Raja Sitanggang, Sp.KJ yang memaparkan isu tentang sinergi profesi menuju kesetaraan jiwa untuk semua, Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si., Psikolog membahas kesehatan jiwa dan psikososial untuk semua demi membangun kesehatan jiwa masyarakat, Bagus Utomo menjelaskan seputar kesetaraan jiwa untuk semua perspektif konsumer dan Romanus Ndau mengedukasi tentang kesetaraan dalam kesehatan jiwa untuk semua perspektif media.

Masalah kesehatan mental, tak melulu soal urusan pikiran atau psikologis loh ternyata! Faktor-faktor biologi dan sosial pun turut berkontribusi untuk membangun kesehatan mental. Untuk urusan psikologi, kesehatan mental juga dipengaruhi oleh unsur sikap/nilai/keyakinan, kepribadian, emosi/perasaan, resiliensi/ketahanan, cara menghadapi masalah, kecerdasan emosi, bias kognitif dan IQ. Mungkin selama ini kebanyakan orang, termasuk aku, berfokus pada sisi psikologi ini ya dalam mempertimbangkan dan memandang kesehatan mental. Yang memang betul, menurutku dampak-dampak emosi yang kita alami memang lah yang paling terasa 'mengganggu' kesehatan mental. Tapi ternyata semua itu juga dipengaruhi oleh sisi-sisi lainnya baik dari sisi biologis dan sosial.

Faktor-faktor Kesehatan Mental/Jiwa


Faktor-faktor Penyebab Gangguan Jiwa

Dari sisi biologi, ternyata faktor genetik, penyakit fisik, cedera, hormonal, neurokimiawi, pola makan/diet, olahraga, narkoba, polusi/toksi juga turut mempengaruhi kesehatan jiwa kita. Kalau dari pengalamanku sendiri, faktor hormonal saat masa-masa menstruasi juga cukup mempengaruhi stabilitas emosi yaa. Di fase-fase menstruasi aku biasanya lebih sensitif dan cenderung lebih mudah emosi. Selain itu, pola makan dan olahraga sangat membantu aku untuk membangun emosi yang lebih baik. Selama pandemi, selain aku mulai aktif membangun komunikasi daring dengan teman-teman, aku pun memulai pola makan sehat rendah kalori dan rutin berolahraga 3-5 kali sehari sejak Januari 2021. Dan hasilnya? Mood atau suasana emosi jauh-jauh membaik. Di masa-masa rutin berolahraga, mulai dari workout, zumba, boxing dan bersepeda mood ku terasa bagus dan lebih hepi aja! And I extremely agreee, workout can make us happy!

Olahraga Sepeda

Lalu, sisi sosial pun menurut ku menjadi salah satu landasan membangun kesehatan jiwa ya karena sisi sosial ini menitik beratkan pola asuh, relasi dengan keluarga/teman, status ekonomi, pendidikan, media, pekerjaan, stress, trauma (bencana, perang, KDRT/abusive, trafficking, bullying) dan juga diskriminasi. Menyambung persoalan sosial tersebut, aku pun sangat relate dengan pembahasan Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si., Psikolog. Beliau memaparkan pentingnya peran-peran komunikasi dan psikososial dari unit masyarakat terkecil, keluarga. Pentingnya komunikasi, pola-pola komunikasi hingga tone/nada berbicara dalam berkomunikasi pun menjadi pembahasan yang semestinya menjadi dasar-dasar pembangunan kesehatan mental dalam ruang lingkup terkecil, keluarga. Mungkin hal ini pula lah yang mendorong kebutuhan 'teman' berbincang dan bersandar di saat-saat kita berada dalam kondisi kurang baik, seperti yang kualami di penghujung 2018 dan di pertengahan 2020 saat pandemi berlangsung.

Jujur, dari pembahasan-pembahasan kesetaraan kesehatan mental dari Kemenkes RI ini, kita harus bisa setara dulu dalam diri kita, lingkungan keluarga, yang kemudian mengaplikasikan kesetaraan-kesetaraan tersebut ke unit organisasi yang lebih besar, mulai dari lingkungan sekolah, pertemanan, lingkungan kerja, tempat-tempat pelayanan publik, lembaga pemerintah dan lingkungan besar masyarakat. 

Untuk menjaga kesehatan mental/jiwa masyarakat, Kementerian Kesehatan pun menyiapkan serangkaian program sebagai upaya promotif preventif kesehatan jiwa seperti konseling pra nikah, parenting skills training, social skills training, bullying prevention, suicide prevention, sex education, management stress serta pencegahan penyalahgunaan NAPZA.
Piramida layanan dan dukungan kesehatan mental

Dan nyatanya isu-isu kesehatan mental ternyata banyak berkelindan di sekitar kita tanpa kita sadari. Sampai akhirnya belakangan ini menurutku semakin banyak warganet yang speak up tentang isu-isu kesehatan mental. Semoga meningkatnya perbincangan dan kesadaran ini bisa semakin menguatkan kesetaraan kesehatan jiwa bagi semua kalangan. Edukasi-edukasi lebih lanjut seputar kesehatan jiwa pun perlu terus diajarkan untuk membangun lingkungan tumbuh dan berkembang yang sehat di tengah-tengah masyarakat. 




13 comments

  1. Ternyata ada faktor internal juga ya yang bisa mempengaruhi kesehatan jiwa. Misalnya faktor genetik, penyakit fisik atau cedera. Saya pikir cuma dari faktor eksternal saja. Wah baru tahu juga nih.

    Kondisi seperti sekarang ini, kesehatan mental kita sangat rentan ya. Harus pandai mengendalikan emosi. Terima kasih atas informasinya yang super keren ini Mba Wulan.

    ReplyDelete
  2. Dulu aku berpikir kesehatan mental itu adalah bahasa halusnya dari ODGJ. Padahal bisa lebih luas lagi ya, Kak.

    ReplyDelete
  3. Bisa dikatakan jiwa kudu dijaga baik-baik ya kak Wulan.
    Bila harus curcol, maka salurkan pada hal yang tepat misal keluarga. Kalau pun mau via medsos mending sih curhatnya sama DIA, karena lebih menenangkan.

    ReplyDelete
  4. biasanya saya juga keluar rumah berolahraga tapi karena ada anak bayi saya udah ngga bisa.. keliar pun tunggu ada yg jaga dan ngga bisa santai.. bawaannya buru2 muluk khawatir si bayi nangis..pdhal pdrlu banget sesekali keluar biar ngga stress di dalam rumah..

    ReplyDelete
  5. Sangat membuka wawasan ya webinarnya. Kesehatan mental memang perlu diperhatikan karena menyangkut banyak aspek kehidupan juga.

    ReplyDelete
  6. Pemahaman soal mental ini memang penting ya kak, apalagi untuk diri sendiri dan lingkungan sekitar. Sayangi diri dengan lingkungan yang sehat juga.

    Semangat kak, btwe webbinarnya menarik. Selama pandemi aku pun juga rajin ikut webbinar, itung2 belajar ilmu baru kan yaa.

    ReplyDelete
  7. Saya pribadi mengalami kondisi psikologis lebih tidak stabil selama pandemi ini. Salah satunya karena tekanan ekonomi, cemas, bertambahnya tugas ibu selama PJJ, juga jenuh. Sempat menyerang fisik dan akhirnya harus diresepkan obat. Sekarang saya mulai selow, pokok kalau sudah di luar kendali saya maka saya lepaskan saja. Ya memang nggak mudah menangani gangguan kesehatan mental ini. Yang jelas kita butuh bantuan dari orang lain agar tidak merasa sendiri.

    ReplyDelete
  8. Iya bener. bersyukurnya sekarang sudah banyak yg aware soal kesehatan mental ini ya kak. Jadinya ngga kayak dulu stigmanya gituu..

    Trus juga banyak edukasi lewat film maupun buku2 soal mental health ini.

    ReplyDelete
  9. Kesehatan mental juga sangat penting ya mbak
    sayang masih banyak yang belum sadar tentang pentingnya kesehatan mental

    ReplyDelete
  10. Bener banget mbak, isu isu kesehatan mental memang banyak berkeliaran di sekitar kita. Banyak yang tidak menyadari dan enggan dibilang jika sedang terkena ini. Padahal mental yang tidak sehat belum tentu gila ya.

    ReplyDelete
  11. Allhamdulilah babyak banget insight yang kudapat meski ga ikutan tapi dapet reportasenya soal kesehatan mental makasih kak

    ReplyDelete
  12. diawal masa pandemi aku sempat juga tuh yang sedih dan stress, sampe aku kerjanya main game terusss.. tapi perlahan coba untuk pulih kembali

    ReplyDelete
  13. kesehatan mental sekarang banyak yg udah lebih aware ya...

    ReplyDelete

your comment awaiting moderation